Cari Blog Ini

Jumat, 08 Februari 2013

cerita remaja

Dengan santai Revan terus menuju sekolahnya sambil mendengarkan lagu dari earpotnya. Keasikanya terusik ketika tubuhnya dengan sempurna mendarat ditanah akibat ditabrak... cewek..???
"Eh.. sory...sory.. gue nggak sengaja" Kata cewek tersebut, sambil menunduk meminta maaf, eh salah ternyata dia menunduk untuk mengambil bukunya yang jatuh (-,-)
"Loe nggak papa kan...?" Katanya bisa bangun sendiri, sory ya, gue telat, da" sambungnya sambil berlalu pergi meninggalkan Revan yang masih terdampar dengan tampang cengo. Dengan mayun dia berdiri sambil menepuk debu-debu yang menempel dibajunya. Umpatnya lirih terlontar dari mulutnya, namun begitu berbalik tayang ulang terjadi karena lagi-lagi pantatnya harus kembali mencium aspal.
"Waduh nabrak lagi, sory beneran, beneran gue tadi terlambat soalnya ini hari pertama gue masuk sekolah, gue lari nggak liat elo, nabrak deh. Kalo yang barusan ada batu ditengah jalan berhubung mata dikepala nyandung deh, makanya bisa nabrak elo, lagian gue emang punya ma..."
"Diam loe..!" Bentak Revan yang membuat cewek itu, mangap tampa suara kayak di Puaus gitu. Setelah mampu berdiri ia segera berlalu pergi, rencananya sih emang mau marah tapi tadi matanya nggak sengaja melirik jam ditangannya, sepuluh menit lagi masuk kelas, sia-sia marah cuma lima menit mubazir waktu namanya.
Namun baru sepuluh langkah sebuah teriakan menghentikannya yang membuat punggungnya kembali tertabrak , syukurlah paling tidak kali ini ia tidak sampai terjatuh.
"Loe mau apa sih sebenarnya..?" Geram Revan sambil berbalik.
"Eh.. gue." cewek itu tertunduk sambil mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "Mau nanya kalau SMA 1 jalanya kemana ya...? belok kiri apa kanan...? soalnya gue baru disini jadi gue nggak tau..?" Sambungnya polos.
Kali ini Revan bener-bener kesel sudah menabrak nggak jelas, sekarang sok nanya alamat segala. Tapi, he..he... sepertinya otak evilnya sedang berfungsi waktu melihat penampilan cewek itu.
"Belok kiri jalan terus sampai lingkungan belok kanan jalan aja terus ." Sahun Revan sambil tersenyum.
"Jalan aja terus sampai loe ketemu pasar, rasain loe emang enak dibikin nyasar" Guman Revan lirih begitu cewek itu hilang ditikungan. Dengan perasaan puas ia melangkah kearah kiri. Dalam hati ia tertawa akan kebodohan cewek itu yang tidak melihat kesamaan seragam mereka yang memang sedikit tersamarkan karena jaket yang dikenakannya.
"Bruk..."
"Astaga.." keluh Revan sambil mengusap-usap ujung bagunya yang sedikit basah akibat kuah baksonya yang tumpah karena tubrukan dipunggungnya.
"eh maaf, tali sepatu gue lepas, terus terinjak makanya bisa hampir nubruk.."
"elo....!!!!"
Jerit keduanya serentak yang mengagetkan seluruh pengunjung kantin yang memang sedang rame-ramenya.
"Ya ampun Tifani kenapa harus teriak segala. Dan elo Van kenapa shcok gitu" Putus salsa.
"elo kan cowok kurang ajar yang bikin gue tadi pagi nyasar" geram Tifani dengan menunjuk kearah tepat kewajah Revan.
"Dan elo cewek yang akan jatuh saat berjalan diatas permukaan datar" ledek Revan sinis.
"itukan bukan kemauan gue, kalau harus bermasalah sama keseimbangan tubuh, lagian tadikan gue udah minta maaf saat tabrakannya, kok elo malah bikin nyasar, sekarang cepet minta maaf."
"MInta maaf...? jangan mimpi" balas Revan sebelum akhirnya berlalu pergi.

Sejak insiden tersebut hubungan mereka jadi tidak pernah akur, yang sedikit banyak menarik perhatian seisi sekolah.
"kenapa sih elo nggak pernah akur sama Revan ..?" tanya Aulia pada Tifani sambil duduk-duduk dibangaun depan lapangan bola basket depan sekolah.
"yah itukan bukan kemauan gue, padahal tadinya gue pikir Revan itu keren lho, apa lagi waktu melihat senyumnya pertama kali, cute banget"
Langkah kaki Revan langsung terhenti. kepalanya menoleh, sebuah senyum kembali terukir dibibirnya mendengar kata-kata yang baru saja tertangkap indra pendengarannya.
"ketauan, loe naksir sama Revan ya..?" Tebak Dini kuat.
"Eh enggak kok cuma....?!?!"
"Cuma apa....? hayo" ledek teman-temannya yang lain, tampa menunggu bantahan yang keluar dari mulut TIfani, Revan lebih memilih berlalu.
"What...? taruhan..? elo pengen kita taruhan kalau elo bisa bikin Tifani jatuh cinta sama elo. dan bakalan elo putusin tepat dihari ulang tahun loe yang cuman tinggal dua minggu lagi...?" jerit Doni setengah berteriak, tidak percaya akan ide gila sahabatnya.
"ia gue bakalan bikin Tifani jatuh cinta sama gue, dan gue putusin didepan kalian semua, gimana...? berani nggak...?
"elo beneran udah gila" kata Alan menimpali, sementara Revan hanya angkat bahu.
"kalian takut..?" tantangnya lagi.
"oke 5 juta deal..?" balan Doni mengulurkan tangan
"Deal" sambung Revan mantab dan tersenyum puas tampa menyadari Benda persegi hitam sedari tadi tetap vokus padanya.
"Kanapa sih setiap gue ketemu elo selalu tertabrak...?" gerutu Revan sambil menyentuh kepalanya yang diperban.
"sory, tapi paling enggak kali ini kan bukan karena gue". sahun Tifani merunduk, walau rasa bersalah sedikit menyentuhnya.
"nggak kok elo emang nggak harus meminta maaf, justru harusnya gue yang bilang makasih secara elo udah menyelamatkan gue, kalau nggak pasti udah ketabrak mobil, lebih parah lagi, untung aja ada loe cepet menabrak gue jadi sehingga kepala gue cuma sedikit kebentur batu, bukan tubuh gue yang kelindas mobil.
"Tapikan gue emang niat nabrak elo, bukan nggak sengaja babarak, secara elo jalannya melamun padahal udah jelas jelas ada mobil yang melaju.
"Watever deh, yang jelas makasih."
Tifani mengangguk mendengarnya.
Sejak saat itu hubungan mereka sedikitnya membaik jika tidak mau dibilang akrab. Ditambah kenyataan kalau mereka ternyata bertetangga kerena keluarga Tifani ternyata pindah tepat didepan rumahnya Revan sementara Tifani bersahabat karib dengan Lara adik kandungnya Revan.
Tak terasa dua minggu telah berlalu Revan benar-benar galau terbesit rasa ragu dihatinya akan taruhannya. Apa lagi ia harus dihadapkan pada kenyataan kalau ia sudah terbiasa akan kehadiran Tifani atau lebih tepatnya ia merasa Tifani itu menarik.
Istirahat siang nanti adalah deadline taruhanya. Doni juga sudah juga sudah mengingatkan. setelah memikirkan untung dan rugi Revan sudah memutuskan dan memantapkan hatinya. Sampai berita dimading menghebohkan seluruh penjuru sekolahnya.
Dengan langkah tergesa diterobosnya gerombolan anak-anak shock saat mendapati berita yang tertera disana.
"ini mustahil..!"
saat berbalik shock untuk kedua kalinya begitu mendapati tatapan datar Tifani yang terjajar lurus padanya.
"Fan, ini tidak seperti yang elo bayangkan
"Memang apa yang elo pikirkan Takun shplis.
"elo pasti mikir kalau berita dimading soal gue taruhan gue sama temen-temen guekan...? gue nggak tau dari mana kata-kata itu berasal, tapi gue akui kalau awalnya itu semua emang benar, gue emang niat jadiin loe taruhan sampai akhirnya ...?"
"akhirnya..?" tanya Tifani, karena Revan masih terdiam.
"Akhirnya gue sadar kalau gue beneran suka sama loe, dan gue beneran pengen jadiin loe pacar gue"
"O...?!"
"O...????!!!" Revan bingung akan reaksi Tifani. Dengan cepat ditahannya tangan Tifani sebelum dia berlalu.
"Terus...?"
"Elo belum jawab pertanyaan gue"
"Oke gue mau jadi pacar loe"
"Elo nggak marah...?" tanya Revan heran
"Enggak tapi gue mau kasi sarat sebelum gue jadikan pacar Kamu?
"syarat...? apa...?" tanya Revan harap-harap cemas, yang lain juga merasa penasaran
"syarat kalau loe nggak boleh marah"
"Gue..? marah...? untuk...?"
"ini" balas Tifani sambil menengadah tangan dan memberi isyarat kepada Doni untuk mendekat.
"Dasar payah loe Van," ledek Doni sambil menyerahkan amplop ketangan Tifani.
"Sepuluh jutakan..?" tanya Tifani
"Iya pas nggak kurang" balas Doni terdengar nggak rela sementara TIfani tertawa.
"Tunggu dulu ini sebenarnya apa..? Terheran-heran" itu uang apa..?"
"O... ini uang taruhan, jadi waktu elo bikin taruhan ama temen-temen loe, gue juga ada disana. Foto dan biodata yang ada dimading juga hasil jepretan gue, tapi waktu itu gue tanggung datangin temen-temen loe lepas loe pergi, kita buat taruhan juga, kalo loe manyatakan cinta maka mereka bayar sepuluh juta"
"Ha...?!?!"Revan schok
"Jadi loe jadiin gue taruhan..?" geram Revan
"Kan sama kek loe" balas Tifani santai
"Jadi loe terima gue karena taruhan...?" tanya Revan sedikit kecewa.
"O.. tentu saja bukan karena itu"
"karna apa...?" tanya Revan tidak sabar.
"Karena gue juga suka sama loe"
Mau tidak mau Revan juga tersenyum simpul.
"Cuma..."
"Cuma apa...?"
"Cuma keknya tambah seru juga secara sekali merayu dua tiga pulau terlewati" kata Tifani sambil mengipas-ngipaskan uang diwajahnya.
"Tifani....!" nada suara Revan benar-benar terdengar menyeramkan apa lagi senyumnya sudah menghilang diwajahnya dan siap memangsa.
"O...O..." Tivani segera berbalik pergi, Revan yang berlari mengejarnya segera menghentikan niatnya begitu memandang lurus kedepan kekaki Tifani yang aneh. Sekali senyum kembali terlihat dibibirnya.
"Tiga"
"Dua"
"Satu"
"Deal"
Tifani sukses jatuh dilantai akibat menginjak tali sepatunya sendiri saat simpulnya terlepas, hening sejenak sebelum tawa meledak mengisi seluruh penjuru sekolah.
"Ah ternyata elo tetap aja cewek yang bakalan jatuh walaupun berjalan dipermukaan datar" Ledek Revan tampa mampu menahan tawa.
"ha...ha....ha....."

derita dirly

Dirly tidak pernah menyangka, Dan tak pernah menginginkan, Disaat umur nya masih sepuluh tahun, Disaat anak-anak lain sebaya nya Sibuk bermain dan bercanda dengan anak sebaya nya, Dia harus rela menghabis kan masa kecil nya dengan mengamen diterminal, Bis-bis dan dimana saja yang bisa memberikan nya sepeser demi sepeser rupiah, Tak perduli dengan keras nya ibu kota, Semua itu harus ia lawan dengan telanjang kaki dan berteman kan gitar kecil nya yang telah usang,..

Dirly bukan nya tidak mempunyai orang tua, Tapi kedua orang tua nya tak pernah menganggap nya sebagai anak mereka, Tapi orang tua nya lah yang menyuruh dan memaksa dirly, Dan sampai umur nya sepuluh tahun, Tak pernah dirly merasakan yang nama nya bangku sekolah, Anak sekecil udah selalu bermain dengan keras nya ibu kota dan kejam nya orang tua,.

"Heh anjing!!!! Bangun bangsat" Kata ibu nya pagi itu dan,
"Gyur"!!!
Seember air langsung membasahi seluruh tubuh dirly,
Dirly langsung bangun, Dengan menggigil dipeluk lutut nya sendiri, Mencoba melawan dingin nya hawa pagi hari, Dan dingin nya seember air yang membasahi tubuh nya,

"Bu, Boleh nggak untuk hari ini dirly nggak ngamen, Badan dirly lagi nggak enak bu" Kata dirly dengan pelan,
"Apa"!!!! Kata ibu nya dengan muka yang memerah, "Enak aja kamu ngomong" Bukan nya belas kasihan yang ia dapat kan, Tapi sebuah sapu yang mencambuk punggung nya dengan kencang yang ia dapt kan, membuat dirly langsung menggeliat kan badan nya, mencoba menahan sakit nya pukulan ibu nya, Tetes demi tetes air mata nya mulai mengalir dari kelopak mata kecil nya yang sayu,
"kau jangan pura-pura menangis dengan air mata buaya mu di depan ku, Sana ngamen" Kata ibu nya dengan kencang, Sambil kedua tangan nya di letak kan di pinggang nya.

Dengan berteman kan air mata dan pakaian nya yang basah kuyup, Dirly pun mengambil gitar kecil nya, Dan keluar dari rumah dengan tubuh yang menggigil, Mencoba menahan dinginnya pagi hari dengan pakaian nya yang basah, Untuk melawan keras nya ibu kota.

"Jangan pernah kau mencoba untuk pulang kerumah kalau kau masih mendapat kan duit seperti kemaren"
Bekal dari ibu nya terdengar sangat kenceng ditelinga nya.

***
Dirly pun mulai berjalan melewati rumah-Rumah mewah, Perkantoran, Toko-toko dan pusat perbelanjaan, Untuk menuju ke terminal pulo gadung, Tempat yang biasa nya selalu memberikan nya rupiah demi rupiah, Tapi sering nya, Disaat dirly udah mendapat kan sedikit uang untuk meringan kan hukuman dari ibu nya, Dirly harus merelakan duit nya di ambil dengan paksa oleh preman-preman tempatan. Ya begitu lah hidup di jalanan ibu kota, Siapa yang kuat dia yang menang,.

DIrly menghentikan langkah kaki nya, Saat sang mentari mulai memperlihat kan wujud nya, Menghangat kan tubuh nya, Menghilangkan rasa dingin yang menyelimuti tubuh nya.
Dan kedua bola mata nya langsung melirik, Saat di lihat anak-anak sebaya nya, Berlarian, Bercanda, Dengan menggunakan pakaian seragam, Berlarian menuju ke sekolah, Betapa iri nya dirly melihat anak-anak sebaya nya, Yang bisa menikmati indah nya belajar, Asik nya bermain, Yang kelak nanti nya pasti ada yang jadi dokter,Guru,.
Dirly meandang diri nya sendiri, Pakaian nya yang kumal dan lusuh, Disaat anak-anak yang lain memegang pensil untuk belajar berhitung, Menulis, Diri nya hanya lah memgang gitar kecil yang usang, Mencoba menjual suara nya Demi sepeser rupiah, Mau jadi apakah diri nya kelak,????
TUHAN ENGKAU menciptakan langit yang maha besar dan tinggi, Tanpa ada satu tiang pun untuk menyangga nya, AKU tidak pernah meragukan kekuasaan MU, Tapi kenapa ENGKAU tidak memberikan ku kehidupan yang layak, Indah nya masa kecil, Nikmat nya belajar dan bermain..

***
Siang itu dirly berlari-lari kecil menuju tempat yang memberikan anak-anak ilmu, Berdiri di sebalik pagar, Dan melihat anak-anak yang beristirahat Ada yang bermain lari-larian, Bercanda, Senyum kecil langsung menghiasi bibir nya, Melihat anak-anak yang bermain dengan gembira.

"Kamu siap"??? Tiba-tiba disebalik pagar itu ada anak kecil yang muncul dan menyapa nya,
Dirly hanya menunduk kan kepala nya dengan malu, Tak sanggup rasa nya untuk membalas tatapan anak perempuan itu,
"Kamu nggak sekolah"?? Tanya anak perempuan itu lagi,
Dirly hanya menggeleng kan kepala nya dengan pelan, Sambil tetap menunduk kan kepala nya,
"kenapa"? Anak itu bertanya lagi dengan polos nya,
Tapi dirly hanya diam seribu bahasa,
"Aku ira, Nama kamu siapa"? Kata ira memperkenal kan diri nya dan mengulur kan tangan nya dari sebalik pagar sekolah itu,
"Dirly" Kata diri pelan, Dan membalas jabatan tangan anak perempuan itu, Dan langsung menarik tangan nya kembali,
"Dirly aku masuk kekelas dulu ya, Bel udah berbunyi, Senang berteman sama kamu" Kata ira sambil tersenyum dan pergi meninggal kan dirly,
Dirly hanya mengikuti dengan tatapan mata nya hingga ira menghilang disebalik gedung sekolah nya,...

to be continue
"Baiklah, tunggu sebentar ya mbak".
Kepala Naira mengangguk sambil tak lupa sebuah senyum bertengger di bibirnya sebagai tanggapan ucapan dari pelayan yang ada dihadapannya.
Berhubung perutnya sudah terlalu lapar ia membatalkan niatnya untuk makan di rumah. Sehingga beginilah jadinya. Ia terdampar di sebuah kaffe langganannya baru - baru ini. Terhitung sejak ia mengenal...

"Steven?" gumam Naira lirih saat matanya tanpa sengaja mendapati sosok yang duduk sendirian sambil.menatap kosong kearah luar di salah satu meja pojok di kaffe itu.
"Ah sepertinya kebetulan ini masih terus berlanjut"sambungnya lagi.
Berniat untuk langsung menghampiri, Naira justru malah dibuat terpaku saat mendapati ada sosok lain yang sudah terlebih dahulu menghampiri steven. Senyum di bibir Naira juga berlahan memudar saat melihat sebuah senyum di wajah steven yang selama ini paling ia sukai tapi tidak tau sejak kapan menjadi hal yang paling ia benci ketika ia tau kalau senyum itu ditujukan untuk wanita lain. Bukan dirinya.
"Maaf ya Steven. Aku kelamaan ya?. Sory, aku nggak nyangka kalau ditoilet juga bisa antri" kata Stela dengan tampang bersalah karena telah membuat pria itu duduk menunggunya sendirian.
"Nggak papa kok. Nyantai aja lagi" ujar steven tulus sambil tersenyum menenangkan.
"Ya udah kalau gitu kita pergi sekarang yuk. Yah aku tau si kalau kamu itu direktur. Tapi kalau menghabiskan jam makan siang kelamaan itu bukan hal yang baik. Apalagi kalau sampai ditiru oleh bawahan".
"Ah, kamu bisa aja. Kalau begitu,ayo ku antar kau pulang".
"Tidak perlu. Aku pulang naik taxi aja. Kau bisa langsung pulang kekantor. Dan terima kasih untuk traktiran makan siangnya".
"Aku akan kekantor setelah memastikan bahwa kau menginjakan kaki dirumahmu dengan selamat. Lagi pula tidak ada sejarahnya seorang wanita yang jalan dengan ku harus pulang sendirian".
"Wow,benar benar terdengar gentelman. Ah pantas saja kau bisa membuatku jatuh cinta" puji stela setengah bercanda. Sementara steven hanya tersenyum simpul menanggapinya. Setelah terlebih dahulu membayar pesanan mereka keduanya segera berlalu tanpa menyadari keterpakuan Nadira yang masih belum mengalihkan pandangan sampai keduanya benar benar menghilang dari pandangan.
"Maaf mbak karena harus menunggu, ini pesanannya. Selamat menikmati".
Sapaan pelayan kaffe menyadarkan Naira dari lamunannya.
"Oh,iya mbak. Ma kasih" balas Naira masih mencoba tersenyum sopan.
Di tatapnya makanan yang kini berada dihadapannya. Mendadak ia merasa sama sekali tidak bernapsu. Rasa lapar yang sedari tadi ia rasa telah menguap begitu saja di gantikan rasa nyesek ia diam - diam merayapi hatinya.

 Cerpen Cinta Rainbow after rain 11
Credit Gambar : Ana Merya

Dengan sebuah headset yang terpasang di kedua telinganya Naira menatap kosong jalanan. Sudah lebih dari seminggu ia tidak melihat wajah Steven terhitung saat ia melihat Steven makan di kaffe langganan mereka. Yang membuatnya bingung adalah pria itu sama sekali tidak menghubunginya. Membuatnya bertanya -tanya kesalahan apa yang telah ia buat.
"Kenapa duduk sendirian?".
"Eh".
Dengan segera Naira melepaskan headset dari telinganya. Merasa sedikit tidak percaya saat mendapati Steven ada di sampingnnya. Hei, ia tidak sedang berhalusinasi kan?.
"Bagaimana kabar mu?" tanya Steven lagi saat Naira masih tidak mengelurakan jawaban.
"Baik" Balas Naira singkat.
Mendadak ia merasa canggung atau mungkin..... Marah????.
"Ngomong - ngomong sudah lama aku tidak melihatmu"
"Hmm" Naira mengangguk membenarkan. Masih tanpa menoleh. Matanya masih menatap lurus kedepan.
"Apa aku melakukan salah padamu?".
Refleks, Naira menoleh.
"Kenapa?".
"Sikapmu aneh?".
Untuk sejenak Naira mentatap lurus kearah Mata Steven yang kini juga sedang menatapnya. Sebelum kemudian ia menunduk dan tersenyum sinis.
"Nggak kebalik?" Gumam Naira lirih.
"Apa?" Kening Steven Tampak berkerut heran. Disaat bersamaan sebuah bus berhenti di hadapan mereka.
"Tapi sebenarnya sedari tadi aku duduk di sini menunggu bus. Jadi berhubung busnya sudah datang, Maaf aku harus pergi duluan".
Naira segera beranjak menuju pintu bus, namun belum sempat ia melangkah sebuah tangan sudah terlebih dahulu mencekal tangannya.
"Aku bisa mengantarmu pulang".
"Nggak perlu. Ma kasih" Tolak Naira Namun Steven sama sekali tidak melepasakan gengamannya.
"Tapi aku...".
"Kalau kau pikir dengan tidak mengantarku pulang itu bukan gayamu saat mengajak wanita manapun untuk jalan bersama harusnya tidak perlu kau fikirkan. Karena saat ini kau tidak sedang mengajakku. Kita hanya 'Kebetulan' bertemu. Jadi kau tidak berkewajiban untuk itu".
Mendengar kalimat dingin yang Naira lontarkan sontak Gengamannya terlepas. Dan sebelum mulutnya sempat terbukan untuk menanyakan kejelasan maksutnya Naira sudah terlebih dahulu berlalu. Masuk kedalam bus bersama penumpang lainnya. Meninggalkan sejuta tanya di kepala Steven.


Turun dari halte Naira segera melangkah menuju kerumahnya. Pikirannya melayang memikirkan kejadian tadi. Sedikit perasaan menyesal terbersit di hatinya. Ia juga bingung sendiri kenapa tadi ia bisa bersikap seperti itu. Secara kalau di pikir - pikir lagi memangnya dia kenapa?. Bahkan sejujurnya ia sendiri juga tidak memiliki alasan untuk marah bukan?.
Apa karena Steven memperlakukan orang lain sama sepertinya?. Atau justru karena Dirinya di perlakukan oleh Steven sama seperti yang lainnya?. Ntahlah, ia juga tidak tau apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Memangnya siapa dia sehingga harus mendapatkan perlakuan istimewa.
Pikiran itu membuatnya diam - diam menyadari suatu hal, Mejadi bukan siapa - siapa ternyata menyakitkan *Ungkapan Ati!!! XD
"Hufh... Cape.." Gumam Naira lirih sambil membuka kunci pintu pagar rumahnya.
"Kalau memang cape kenapa tadi menolak untuk diantar oleh ku?".
Refleks Naira menoleh, Keningnya berkerut samar sambil menatap kaget sosok yang berdiri tak jauh di sampingnya sambil bersandar di mobil dengan kedua tangan berada dalam saku celananya.
"Kau mengikutiku?!" Tembak Naira langsung.
"Tidak".
"Lantas kenapa kau bisa berada disini?".
"Aku hanya ingin memastikan bahwa kau pulang dengan selamat".
Naira mencibir sinis saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut Steven barusan. Bagaimana tidak, ucapan itu kan justru malah mengingatkannya pada kejadian di kaffe kemaren. huuuuuu.
"Hei, apa kau benenan marah padaku?" tanya Steven saat mendapati Naira mengabaikannya dan justru malah dengan santai masuk kedalam rumahnya.
"Memangnya aku punya alasan apa untuk marah padamu?" Tanya Naira balik.
"Justru itu yang ingin ku tau" Balas Steven cepat. "Atau kau memang sudah mengetahuinya?" Sambung Steven Lirih nyaris tidak mendengar.
"Maksutmu?" Tanya Naira sambil berbalik.
Tapi steven justru terdiam. Mulutnya seakan terkunci rapat. Membuat Naira merasa jengah dan kembali berbalik kerumah.
"Maaf. Aku benar - benar minta maaf".
Suara lirih Steven menghentikan langkahnya.
"Untuk?" tanya Naira tanpa berbalik.
"Semuanya...".
Naira masih terdiam tanpa berbalik, menanti kelanjutan ucapan Steven yang masih belum ia ketahui arah dan maksutnya. Maaf?. Memangnya untuk apa?.
"Dan yang paling terpenting, Maaf, karena telah membiarkan jantung kakakmu. Seseorang yang paling kau sayangi, Seseorang yang kepergiannya paling tidak kau inginkan dalam hidup, untuk berdetak didalam tubuhku".
Dan detik itu juga Naira merasakan bahwa dunianya ...... Gelap!....
"As always" Gumamnya lirih. Sangat lirih....

Sumber : http://ciptakaryacerpen.blogspot.com/2012/12/cerpen-cinta-rainbow-after-rain-11.html#ixzz2KMDWJK1z